Berdasarkan cerita para leluhur / sesepuh Desa Tukadmungga, konon Desa ini airnya sangat bening sekali, akan tetapi sungai tersebut sangat angker sehingga penduduk tidak berani mandi di aliran sungai tersebut, untuk melewati sungai itu saja orang tidak berani karena keangkerannya. Suatu hari konon ada putri teramat cantik datang melewati sungai dan tertarik dengan kebeningan air tersebut, dia merupakan titisan dewa yang bernama Dewi Ayu, kecantikan putri tersebut sangatlah sempurna, kulitnya putih dan rambutnya terurai hitam lembut dan sangat panjang. Dewi Ayu kemudian tertarik mandi di aliran sungai yang bening tersebut, rambutnya yang panjang terurai terbawa arus sungai hingga ke muara pesisir pantai. Disaat itu pula konon ada seorang raja yang sangat tampan kebetulan berlayar melewati aliran sungai tersebut. Raja tersebut bernama Gempu Awang, alangkah terkesimanya Si Gempu Awang melihat uraian rambut indah di muara sungai, hatinya berdebar dan berpikir bahwa pastilah si pemilik rambut ini adalah seorang putri cantik sehingga tanpa berpikir panjang si Gempu Awang kemudian membelokkan perahunya menelisuri mengikuti uraian rambut tersebut alangkah terkejutnya Si Gempu Awang ketika melihat seorang putri yang sangat cantik bagaikan bidadari dari khayangan sedang mandi dihadapannya. Seketika Si Gempu Awang matang terbelalak, pikirannya menerawangdan hatinya terpesona melihat keindahan tubuh Dewi Ayu dan dengan penuh nafsu Si Gempu Awang mendekati sang putri tanpa ragu-ragu mengungkapkan isi hatinya serta berniat melamar Dewi Ayu untuk dijadikan istrinya. Melihat seorang laki-laki yang tidak santun mendekati Dewi Ayu disaat sedang mandi dan ingin melamarnya membuat sang putri menjadi marah yang akhirnya dengan kesaktiannya sang putri mengutuk Si Gempu Awang dan perahunya menjadi sebuah batu besar dan menutupi badan sungai sehingga air sungai menjadi meluap ke daratan. Sungai yang meluap tersebut kemudian oleh orang di beri nama "Tukad Munggah" yang lama kelamaan menjadi Desa Tukadmungga. Si Gempu Awang dan perahunya yang dikutuk menjadi batu besar sampai sekarang berada di hulu sungai dan diberi nama "Batu Perahu". Karena keangkeran sungai tersebut maka sampai sekarang sungai tersebut diberi nama "Tukad Bangke" yang merupakan sungai perbatasan dengan Desa Pemaron. Demikian sejarah keberadaan Desa Tukadmungga yang diceritakan oleh para leluhur desa yang sampai saat ini melekat dan merupakan legenda asal usul desa yang diyakini oleh masyarakat Desa Tukadmungga secara turun temurun.
• Lihat disini beberapa destinasi wisata yang ada di pantai happy lovina - Tukadmungga.
Anak Agung Pandji Tisna, sering ditulis Pandji Tisna, sekitar 1950-an pernah melakukan perjalanan ke beberapa negara di Eropa dan Asia. Ia terutama tertarik dengan kehidupan masyarakat di India. Dia tinggal beberapa minggu di Bombay. Cara hidup dan kondisi penduduk di sana, serta merta mempengaruhi cara pikir dan wawasan dia ke depan untuk Bali, terutama pembangunan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Buleleng. Sementara itu, Panji Tisna juga melihat suatu tempat yang ditata indah untuk orang-orang berlibur di pantai. Tanah tersebut memiliki kesamaan dengan tanah miliknya di Pantai Tukad Cebol, Buleleng yang juga terletak di antara dua buah aliran sungai. Inspirasi Panji Tisna muncul untuk membangun sebuah peristirahatan seperti itu.
Lovina berasal dari kata "Love" dan "Ina" yang oleh masyarakat diartikan sebagai "Love Indonesia". Pengertian seperti itu tidak sesuai dalam konteks Panji Tisna. Istilah “INA” secara umum sudah dikenal sebagai singkatan untuk kontingen atau rombongan atlet Indonesia untuk "Asian Games 1963" sedangkan nama "Lovina" sudah didirikan pada tahun 1953. Menurut Panji Tisna, "Lovina" memiliki makna filosofis, campuran dua suku kata "Love" dan "Ina". Kata "Love" dari bahasa Inggris berarti "kasih" yang tulus dan "Ina" dari bahasa Bali atau bahasa daerah yang berarti "Ibu". Menurut penggagasnya, Anak Agung Panji Tisna, arti "Lovina" adalah "Cinta Ibu" atau arti luhurnya adalah "Cinta Ibu Pertiwi".